Hidup ini bukan untuk menjelaskan. Habis waktu jika kita harus
menjelaskan ini-itu. Pun kalaupun kita sudah jelaskan, apakah semua jadi
terang-benderang? Tidak juga. Malah semakin rumit seperti benang kusut.
Maka, salah-paham, salah-sangka, praduga keliru, adalah keniscayaan.
Tidak bisa kita enyahkan. Dimana-mana ada salah-paham.
Orang-orang akan keliru menafsirkan kalimat yang kita sampaikan. Maksud
kita baik, tulus, disangka jahat dan penuh rencana. Tidak masalah, itu
normal-normal saja. Orang-orang juga keliru menafsirkan perbuatan kita,
tindakan kita, yang tujuannya adalah A, ternyata ditafsirkan Z. Kita
lakukan untuk perbaikan, disangka untuk kejahatan. Kita tidak sedang
rese, menyindir, disangka sedang menyerang habis2an. Juga tidak masalah,
ini sering terjadi. Orang-orang salah menyimpulkan pilihan kita,
keputusan kita, jalan hidup dsbgnya, dsbgnya.
Apakah kita harus
bergegas menjelaskan? Hampir kebanyakan jawabannya: Tidak perlu.
Kalaupun memang perlu dijelaskan, nanti-nanti saja. Tidak sekarang. Tapi
bagaimana dong? Kan nggak enak kalau tidak dijelaskan? Aduh, jangan
cemas dengan penilaian orang lain, jangan cemas dengan omongan orang
lain, yakinilah, salah-paham, selalu bisa diurai saat kita terus
konsisten memang bermaksud baik dan tulus. Kalaupun tidak bisa diurai
hingga kita mati, tidak masalah, besok lusa mungkin akan terurai.
Kalian pasti tahu kisah Nabi, yang setiap hari menyuapi pengemis Yahudi
yang menyumpahinya, "Muhammad adalah orang gila, tukang sihir, jangan
didekati, dstnya", si pengemis ini fatal sekali salah-paham. Nabi tidak
sekalipun bergegas berusaha menjelaskan, tapi memilih terus kongkret
mengurus kakek tua pengemis ini dengan tulus dan lemah-lembut. Hingga
Nabi meninggal, pengemis ini terus salah-paham, hingga akhirnya Sahabat
Nabi Abu Bakar meneruskan mengurus si pengemis, menyuapinya makan. Si
pengemis bertanya, mana orang yang biasa menyuapinya? Kok sekarang beda
cara menyuapinya? Abu Bakar bilang, orangnya sudah meninggal, dan dialah
Nabi Muhammad. Sungguh, dek, itu nyesek sekali, jleb bagai disambar
petir, saat si pengemis ini akhirnya mengetahui kebenarannya, bahwa Nabi
bukan orang gila, justeru Nabi orang yang selama ini telah mengurusnya,
ngasih makan. Nabi tidak seperti prasangka jahatnya.
Adik-adik
sekalian, belajarlah dari kisah ini, apakah Nabi bergegas di hari
pertama bilang, bahwa dia tidak seperti disangkakan si pengemis?
Jawabannya tidak. Nabi fokus terus berbuat baik. Konsisten.
Saya
bukan orang bijak, kita semua jauh sekali levelnya bahkan untuk
menyentuh kebijakan sahabat Nabi yang paling biasa-biasa saja. Tapi
ingatlah selalu nasehat ini, bahwa daripada sibuk menjelaskan, lebih
baik sibuk produktif dan kongkret. Daripada sibuk menjelaskan (yang
kadang malah cenderung bela diri, defensif), lebih baik fokus terus
memperbaiki diri.
Besok lusa, insya Allah, salah-paham bisa
dijelaskan. Orang2 akan menangis telah keliru menyimpul, orang2 akan
terdiam telah salah-paham, orang-orang akhirnya mengetahui kebenaran
sejatinya. Tapi itu bukan urusan kita, itu urusan mereka. Kecuali kalau
yang salah paham itu adalah kita, nah, itu sungguh rumit sekali. Mau
jadi seperti pengemis yahudi tadi?
*Tere Liye
Tidak ada komentar:
Posting Komentar