Selasa, 17 November 2015

*Salah-paham

Hidup ini bukan untuk menjelaskan. Habis waktu jika kita harus menjelaskan ini-itu. Pun kalaupun kita sudah jelaskan, apakah semua jadi terang-benderang? Tidak juga. Malah semakin rumit seperti benang kusut. Maka, salah-paham, salah-sangka, praduga keliru, adalah keniscayaan. Tidak bisa kita enyahkan. Dimana-mana ada salah-paham.

Orang-orang akan keliru menafsirkan kalimat yang kita sampaikan. Maksud kita baik, tulus, disangka jahat dan penuh rencana. Tidak masalah, itu normal-normal saja. Orang-orang juga keliru menafsirkan perbuatan kita, tindakan kita, yang tujuannya adalah A, ternyata ditafsirkan Z. Kita lakukan untuk perbaikan, disangka untuk kejahatan. Kita tidak sedang rese, menyindir, disangka sedang menyerang habis2an. Juga tidak masalah, ini sering terjadi. Orang-orang salah menyimpulkan pilihan kita, keputusan kita, jalan hidup dsbgnya, dsbgnya. 

Apakah kita harus bergegas menjelaskan? Hampir kebanyakan jawabannya: Tidak perlu. Kalaupun memang perlu dijelaskan, nanti-nanti saja. Tidak sekarang. Tapi bagaimana dong? Kan nggak enak kalau tidak dijelaskan? Aduh, jangan cemas dengan penilaian orang lain, jangan cemas dengan omongan orang lain, yakinilah, salah-paham, selalu bisa diurai saat kita terus konsisten memang bermaksud baik dan tulus. Kalaupun tidak bisa diurai hingga kita mati, tidak masalah, besok lusa mungkin akan terurai.

Kalian pasti tahu kisah Nabi, yang setiap hari menyuapi pengemis Yahudi yang menyumpahinya, "Muhammad adalah orang gila, tukang sihir, jangan didekati, dstnya", si pengemis ini fatal sekali salah-paham. Nabi tidak sekalipun bergegas berusaha menjelaskan, tapi memilih terus kongkret mengurus kakek tua pengemis ini dengan tulus dan lemah-lembut. Hingga Nabi meninggal, pengemis ini terus salah-paham, hingga akhirnya Sahabat Nabi Abu Bakar meneruskan mengurus si pengemis, menyuapinya makan. Si pengemis bertanya, mana orang yang biasa menyuapinya? Kok sekarang beda cara menyuapinya? Abu Bakar bilang, orangnya sudah meninggal, dan dialah Nabi Muhammad. Sungguh, dek, itu nyesek sekali, jleb bagai disambar petir, saat si pengemis ini akhirnya mengetahui kebenarannya, bahwa Nabi bukan orang gila, justeru Nabi orang yang selama ini telah mengurusnya, ngasih makan. Nabi tidak seperti prasangka jahatnya.

Adik-adik sekalian, belajarlah dari kisah ini, apakah Nabi bergegas di hari pertama bilang, bahwa dia tidak seperti disangkakan si pengemis? Jawabannya tidak. Nabi fokus terus berbuat baik. Konsisten.
Saya bukan orang bijak, kita semua jauh sekali levelnya bahkan untuk menyentuh kebijakan sahabat Nabi yang paling biasa-biasa saja. Tapi ingatlah selalu nasehat ini, bahwa daripada sibuk menjelaskan, lebih baik sibuk produktif dan kongkret. Daripada sibuk menjelaskan (yang kadang malah cenderung bela diri, defensif), lebih baik fokus terus memperbaiki diri.

Besok lusa, insya Allah, salah-paham bisa dijelaskan. Orang2 akan menangis telah keliru menyimpul, orang2 akan terdiam telah salah-paham, orang-orang akhirnya mengetahui kebenaran sejatinya. Tapi itu bukan urusan kita, itu urusan mereka. Kecuali kalau yang salah paham itu adalah kita, nah, itu sungguh rumit sekali. Mau jadi seperti pengemis yahudi tadi?

*Tere Liye

Tidak ada komentar:

Posting Komentar